Mesjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah di Kota Banjarmasin yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.

indexMasjid yang didirikan di tepi sungai Kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.

.

Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : ” Ba’da hijratun Nabi Shalallahu ‘alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia.” Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri   terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: “Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya’ban tatkala itu (tidak terbaca)” .[3] Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 Sya’ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidullah I (1734-1759).

Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi “Allah Muhammadarasulullah”. Pada bagian kanan atas terdapat tulisan “Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17”, sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : “Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri”. Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.

Filosofi ruang

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab

 

Museum Wasaka Banjarmasin

Berdasarkan arti kata ‘museum’ dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diatas, bisa dikatakan kalau museum bukanlah ruang penyimpanan semata tetapi merupakan tempat memamerkan peninggalan sejarah sehingga bisa diketahui dan dipelajari masyarakat umum.

Tertarik mengetahui dan mempelajari sejarah perjuangan rakyat Kalimantan Selatan? Datanglah ke Museum Wasaka yang terletak di Gang H. Andir, Kampung Kenanga Ulu, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin. Museum ini berada di tepi sungai Martapura, berdampingan dengan Jembatan 17 Mei (Jembatan Banua Anyar) yang besar, panjang, dan kokoh.

Wasaka sendiri adalah singkatan dari Waja Sampai Ka Putting yang berarti perjuangan yang tiada henti hingga tetes darah penghabisan. Kalimat itu merupakan moto perjuangan rakyat Kalimantan Selatan. Museum Wasaka diresmikan pada tanggal 10 November 1991, bertempat di rumah Banjar Bubungan Tinggi yang kemudian dialihfungsikan dari bangunan hunian menjadi museum. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya konservasi bangunan tradisional.

Terdapat lebih kurang 400 benda bersejarah yang dipamerkan di museum ini, terutama yang berkaitan dengan sejarah perjuangan rakyat dan pemuda Kalimantan Selatan. Diantaranya: daftar organisasi yang pernah berjuang menentang penjajah seperti Lasykar Hasbullah yang bermarkas di Martapura dan Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan yang bermarkas di Banjarmasin.

Ada juga benda-benda peninggalan sejarah seperti: mesin tik kuno, kamera, cermin, tombak, mandau, senapan, mortir, serta empat buah kursi yang konon dulunya dipakai sebagai tempat pejuang Kalimantan Selatan bermusyawarah. Sementara dinding yang mengelilingi kursi-kursi itu memuat deretan gambar gubernur pertama hingga yang menjabat sekarang. Tidak ketinggalan sebuah sepeda kuno yang katanya sewaktu zaman penjajahan digunakan untuk mengirim surat dengan menyembunyikan lembaran surat di dalam badan sepeda agar tidak diketahui oleh kolonial Belanda

Kampung Sasirangan

Kampung Sasirangan adalah tempat pembuatan batik khas Banjarmasin yaitu kain sasirangan dimana pembuatan batik ini masih menggunakan cara tradisional seperti kerajinan batik di pulau jawa.

Kampung Sasirangan terletak di Jalan Seberang Masjid Kelurahan Kampung Melayu, sejak 2010 telah dijadikan salah satu obyek wisata souvenir kerajinan kain dan busana sasirangan. Pembentukan kampung sasirangan oleh Dinas Pariwisata Pemkot Banjarmasin ini bertujuan memudahkan pembeli sekaligus sarana pembinaan kepada usaha mikro kecil dan menengah.

Kain Sasirangan

Kain Sasirangan ini asal mulanya digunakan atau dipercaya untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit (pamintaan). Kain ini dipakai pada upacara adat suku daerah Banjar. Kain sasirangan ini berbentuk laung (ikat kepala), kekamban (kerudung) dan tapih bumin (kain sarung). Sebagai bahan pewarna diambil dari bahan bahan pewarna alam seperti jahe, air pohon pisang, daun pandan dll.

Menurut sejarah sekitar abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa, di Kalimantan Selatan telah dikenal masyarakat sejenis batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.

Menurut cerita rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat yaitu tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan yang pertama kali dibuat.

Kain Sasirangan adalah kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu. Pada dasarnya teknik pewarnaan rintang mengakibatkan tempat-tempat tertentu akan terhalang atau tidak tertembus oleh penetrasi larutan zat warna. Prosesnya sering diusahakan dalam bentuk industri rumah tangga, karena tidak diperlukan peralatan khusus, cukup dengan tangan saja untuk mendapatkan motif maupun corak tertentu, melalui teknik jahitan tangan dan ikatan.

Sebagai bahan baku kainnya, yang banyak digunakan hingga saat ini adalah bahan kain yang berasal dari serat kapas (katun). Hal tersebut disebabkan karena pada mulai tumbuhnya pembuatan kain celup ikat adalah sejalan dengan proses celup rintang yang lain seperti batik dan tekstil adat. Untuk saat ini pengembangan bahan baku cukup meningkat, dengan penganekaragaman bahan baku non kapas seperti : polyester, rayon, sutera, dan lain-lain.

Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh beberapa faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain : jenis benang/jenis bahan pengikat.

Dengan mengkombinasikan antara motif-motif asli yang satu dengan motif asli yang lainnya, maka kain kain sasirangan makin menarik dan kelihatan modern Selain itu motif-motif tersebut dimodifikasi sehingga menciptakan motif-motif yang sangat indah namun tidak meninggalkan ciri khasnya. Adapun corak atau motif yang dikenal antara lain Kembang Kacang, Ombak Sinapur Karang, Bintang Bahambur, Turun Dayang, Daun Jaruju, Kangkung Kaombakan, Kulit Kayu, Sarigading, Parada dll.

Produk barang jadi yang dihasilkan dari kain Sasirangan yaitu Kebaya, Hem, Selendang, Jilbab, Gorden, Taplak Meja, Sapu Tangan, Sprei dll. Penggunaan Kain Sasirangan inipun lebih meluas yaitu untuk busana pria maupun wanita yang dipakai sehari-hari baik resmi atau tidak

Pulau Kembang Banjarmasin

Wisata Alam – Pulau Kembang – Barito Kuala – Kalimantan Selatan.
Pulau Kembang adalah sebuah delta yang terletak di tengah sungai Barito yang termasuk di dalam wilayah kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, provinsi Kalimantan Selatan merupakan habitat bagi kera ekor panjang

Pulau-KembangPulau Kembang terletak di sebelah barat Kota Banjarmasin. Pulau Kembang ditetapkan sebagai hutan wisata

Pulau Kembang merupakan habitat bagi kera ekor panjang (monyet) dan beberapa jenis burung. Kawasan pulau Kembang juga merupakan salah satu obyek wisata yang berada di dalam kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala.
Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi ” penjaga” pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman), oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu.
Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul

Menurut ceita, pulau Kembang berasal dari kapal Inggris yang dihancurkan oleh orang Biaju pada tahun 1750-an atas perintah Sultan Banjar. Puing-puing bekas kapal tersebut lambat laun ditumbuhi pepohonan dan berubah menjadi sebuah pulau yang kemudian didiami sekelompok kera. Orang-orang desa yang berada di sekitar pulau baru ini menganggap bahwa kera-kera tersebut merupakan penjelmaan yang memakai sarungan kera. Kelompok kera tersebut dipimpin oleh seekor kera yang sangat besar berwarna putih
Kera-kera di kawasan ini yang berjumlah ribuan, sangat akrab dengan para pengunjung. Biasanya ketika para wisatawan datang berkunjung, kera-kera tersebut banyak yang menunggu di dermaga, menunggu para wisatawan memberi mereka makanan seperti pisang, kacang, dan sebagainya
Kawasan ini berjarak sekitar 1,5 km dari Kota Banjarmasin dan dapat ditempuh dengan menggunakan perahu klotok sewaan , Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lokasi sekitar 15 menit dari Kota Banjarmasin

Pasar Terapung Banjarmasin

Pasar Terapung Muara [Sungai] Kuin atau Pasar Terapung Sungai Barito adalah pasar terapung tradisional yang berada di atas sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pasar Terapung Muara Kuin merupakan pusaka saujana Kota Banjarmasin.
terapung41
Para pedagang dan pembeli menggunakan jukung, sebutan perahu dalam bahasa Banjar. Pasar ini mulai setelah salat Subuh sampai selepas pukul tujuh pagi. Matahari terbit memantulkan cahaya di antara transaksi sayur-mayur dan hasil kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran sungai Barito dan anak-anak sungainya.

Para pedagang wanita yang berperahu menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh, sedangkan tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan. Keistemewaan pasar ini adalah masih sering terjadi transaksi barter antar para pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.

Kini pasar terapung Kuin dipastikan menyusul punah berganti dengan pasar darat. Banyak wisatawan yang berkunjung ke Kuin harus menelan kekecewaan karena tidak menjumpai adanya geliat eksotisme pasar di atas air.

Kepunahan pasar tradisional di daerah “seribu sungai” ini dipicu oleh kemaruk budaya darat serta ditunjang dengan pembangunan daerah yang selalu berorientasi kedaratan. Jalur-jalur sungai dan kanal musnah tergantikan dengan kemudahan jalan darat. Masyarakat yang dulu banyak memiliki jukung, sekarang telah bangga memiliki sepeda motor atau mobil.[3]